Sabtu, November 28, 2009

SBY Akan Melayat Jenazah Istri Bachtiar Chamsyah

Laurencius Simanjuntak - detikNews

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melayat jenazah istri mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Rosidah Hanum. Rencananya, SBY akan datang ke rumah duka di Perumahan Tanjung Mas Barat, Jakarta Selatan.

"Insya Allah (SBY) akan berkunjung pukul 10.30 WIB," kata menantu almarhumah, Irfansyah Putra Rahman, lewat telepon, Sabtu (28/11/2009).

Irfan mengatakan, saat ini beberapa pejabat juga sudah tiba di rumah duka untuk melayat. Mereka di antaranya mantan Menko Polhukam Widodo AS dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Syamsir Siregar.

Rosidah yang tutup usia dalam usia 64 tahun dan meninggalkan 3 orang anak dan 5 orang cucu. Rosidah meninggal Jumat (28/11/2009) pukul 23.50 WIB di RS Medistra, Jl Gatot Subroto, Jaksel, karena mengidap penyakit kanker sejak tahun 2001.

"Ibunda kami begitu lama mengidap penyakit kanker, tapi daya juang ibunda kami besar. Ia bahkan menganggap dirinya tidak sakit," kata Irfan.

Bachtiar Chamsyah menjadi menteri sosial di 2 kabinet berturut-turut, yakni Kabinet Gotong Royong era Megawati Soekarnoputri dan Kabinet Indonesia Bersatu I di periode pertama Presiden SBY.

"Meski sakit, ibunda selalu menemani tugas-tugas ayahanda kami," kenang Irfan.
(lrn/irw)

Read more...

Boediono, Risiko Gagalnya Politisi Tak Berkeringat (2)

M Sumarsono
INILAH.COM, Jakarta - Ada dua cara untuk mencapai jabatan politis di Indonesia: melalui kerja-kerja politik atau kerja profesional. Boediono mencapainya melalui cara yang kedua.

Di Indonesia, baru Bung Hatta yang bisa melakukan dua pekerjaan itu, untuk mencapai posisi Wakil Presiden. Bung Hatta memilik basis politik di partai dan profesional dalam kapasitasnya sebagai ekonom.

Kerja politik, jelas berbeda dengan kerja profesional. Profilnya, targetnya, prioritasnya, cara menyelesaikan masalahnya: semua berbeda.

Seorang politisi, terkadang tidak harus ahli untuk duduk dalam sebuah jabatan politik. Karena itu, ketika ada orang non-politik menduduki jabatan politik, dalam bahasa aktivis politik, mereka disebut sebagai Politisi Tak Berkeringat.

Politisi membutuhkan konstituen. Semakin banyak pemilih, semakin kuat posisinya. Karena itu, kerja-kerja politik adalah kerja-kerja mengumpulkan keinginan dan ideologi banyak orang. Kerja-kerja politik adalah kerja-kerja menemui banyak orang dan menyusun sebanyak-banyaknya daftar janji.

Berbeda dengan profesional. Mereka, tentu saja, tidak harus berkeliling atau melakukan kerja-kerja persuasif massal untuk mendapatkan dukungan.

Seperangkat teori dan kapasitas intelektual, bisa membuat orang non-partai menduduki jabatan politik.

Nah, pada masa Bung Hatta, sempat diperkenalkan istilah Zaken Kabinet. Yaitu, diisinya kabinet oleh orang-orang ahli atau profesional. Termasuk Wakil Presiden, yang saat itu dijabat oleh Bung Hatta sendiri.

Sepanjang Orde Baru, posisi Wakil Presiden juga menjadi representasi kekuatan politik. Mulai dari Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Sudharmono, Oemar Wirahadi Kusumah, dan BJ Habibie, semua terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan politik.

Try Sutrisno, memang bukan dari partai. Tapi, saat pengangkatannya sebagai Wapres mendampingi Soeharto, sedang menguat isu pilar kekuatan Orde Baru. Yaitu, munculnya kekuatan jalur ABG: ABRI, Birokrasi dan Golkar. Try adalah representasi dari kekuatan ABRI, setelah Soeharto resmi menjadi Ketua Dewan Penasehat Golkar.

Nah, pilihan SBY kepada Boediono untuk menjadi Wakil Presiden, tadinya meyakinkan para pengamat politik bahwa Indonesia akan mengadopsi lagi pola Zaken Kabinet dalam menyokong kepemimpinan nasional. Sehingga, kerja-kerja politik tidak harus dilakukan oleh Boediono.

Karena itu, serangan politik saat Boediono menjadi Wakil Presiden, banyak diarahkan pada soal-soal ideologis.

Yaitu: di-petakannya Boediono ke dalam alur ideologi Neo-Liberalisme.

Yang menarik, sebagai political clearence, saat itu dimunculkan profil kehidupan Boediono yang tidak neko-neko. Juga, gaya hidup Boediono yang tidak bergelimang simbol-simbol kemewahan.

Padahal, Neo-Liberalisme tidak synonim dengan gaya hidup. Neo-Liberalisme tidak simetris dengan borjuasi atau hedonisme. Neo-Liberalisme adalah cara pandang dan cara mengeksekusi sebuah kepentingan nasional. Kepentingan rakyat banyak: dari bawah sampai atas.

Neo-Liberalisme berpihak pada siapa?

Nah, dalam posisinya sebagai Wakil Presiden sekarang ini, Boediono adalah representasi dari kebijakan politik kekuasaan yang sedang memerintah: apakah seorang profesional menjadi efektif dalam penyelesaian konflik politik, atau sebaliknya, seorang profesional telah gagal melihat masalah tehnis yang berisiko politik?

Jadi, mundurnya Boediono dari jabatan Wakil Presiden (kalau memang terjadi), tidak bisa dilihat sebagai langkah profesional lagi. Tapi, sebagai penyelesaian atas konflik politik yang (memang) harus dilakukan.

Sebab, Hak Angket adalah agenda politik. Begitu juga Kasus Bank Century; telah menjadi amunisi baru perpolitikan Indonesia.

Kalau Boediono tetap (dipaksa) bertahan dalam posisinya sebagai Wakil Presiden, prediksi yang paling rasional adalah akan terjadinya eskalasi politik yang memanas. Risikonya, pemerintahan akan berjalan lambat lagi.

Catatan riwayat hidup Boediono, nyaris menunjukkan tidak adanya investasi politik di partai manapun. Termasuk Partai Demokrat. Baju biru dan simbol bintang yang dipakai Boediono, baru dikenakan saat kampanye pemilihan presiden dan capres 2009.

Berbeda dengan Bung Hatta, yang sudah membangun Perhimpunan Indonesia Raya saat masih kuliah di Belanda.

Read more...

Boediono Mundur, Ekonomi Makin Baik?



Irvan Ali Fauzi

8/11/2009 - 09:22
INILAH.COM, Jakarta - Jika proes hukum untuk mengusut kasus Bank Century semakin membesar dan memaksa Wakil Presiden Boediono mundur, bagaimana kondisi perekonamian Indonesia. Apakah terpuruk atau sebaliknya.

Menurut pengamat ekonomi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM Revrisond Baswir menyakini perekonomian semakin baik. “Tidak ada pengaruhnya, malah mungkin semakin baik,” ujar Revrisond kepada INILAH.COM, Sabtu (28/11).

Revrisond menjelaskan, jika pengganti Boediono lagi-lagi orang yang menganut neoliberalisme maka tidak ada pengaruh. Namun, jika muncul figur yang pro pada ekonomi kerakyatan, maka perekonomian bisa semakin membaik.

Selain itu, Revrisond meminta kasus dana talangan 6,7 triliun ini tidak masuk ke ranah politik. Mulai dari hak angket sampai proses hukum kasus Bank Century harus dijalankan dengan benar. “Jika terbukti, Boediono harus bertanggung jawab,” imbuhnya.

Ketika ditanya apa yang dilakukan Boediono untuk mengendalikan keadaan agar dia bisa terus bertahan sebagai wapres. Revrisond menilai Boediono tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini, audit investigasi BPK terhadap kasus Bank Century sudah keluar. Ke depan, ujarnya, panitia hak angket di DPR akan terbentuk.

“Lihat saja ke depan KPK juga bisa memproses kasus ini, kan hasil audit BPK sudah diserahkan. Boediono tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengendalikan itu,” tegas Revrisond. [bar]

Read more...

Minggu, November 22, 2009

40.000 TKI Dijualbelikan



Minggu, 22 November 2009
SUKOHARJO, KOMPAS.com - Minimnya keterampilan tenaga kerja Indonesia menyebabkan mereka kerap mendapat masalah di negara asing tempat mereka bekerja. Setiap tahun, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI mencatat ada 40.000-50.0000 TKI yang mendapat masalah, seperti tidak digaji, dianiaya, atau PHK sepihak. Mereka terutama yang bekerja di negara-negara Timur Tengah.

Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat mengatakan, TKI itu dapat dikatakan diperdagangkan. Seharusnya mereka diberi pelatihan kerja, 200 jam untuk TKI ke Timur Tengah dan 400 jam untuk tujuan negara di Asia Pasifik. ”Yang terjadi, perekrutan TKI seperti perdagangan manusia, terutama yang ke Timur Tengah,” kata Jumhur di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu (21/11).

Menurut Jumhur, banyak terjadi penyimpangan dalam perekrutan TKI ke Timur Tengah. Perusahaan jasa TKI (PJKTI) yang nakal tidak melatih TKI dan tidak memeriksa kesehatan TKI sehingga terjadi jual-beli sertifikat kesehatan. Keuntungan PJTKI nakal sekitar Rp 5 juta untuk setiap TKI.

Motivasi mencari keuntungan lebih ini, menurut Jumhur, didukung Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 15, 16, 17, dan 18 Tahun 2009. Sebenarnya peraturan serupa, yakni Permenakertrans No 22/2008, telah dihapus dengan dikabulkanya uji materi oleh Mahkamah Agung. Namun, kemudian dibuat peraturan baru yang identik dengan Permenakertrans No 22/2008 itu.

”Menteri yang baru sekarang jika tidak ingin dituduh melakukan perdagangan manusia harus menghapus Permenakertrans itu. Pak Muhaimin Iskandar mudah-mudahan konsisten dengan komitmennya akan menghapus Permenakertrans 15, 16, 17, dan 18 dalam 100 hari pertama program kerjanya,” kata Jumhur. (EKI)

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP