Sabtu, November 28, 2009

Boediono, Risiko Gagalnya Politisi Tak Berkeringat (2)

M Sumarsono
INILAH.COM, Jakarta - Ada dua cara untuk mencapai jabatan politis di Indonesia: melalui kerja-kerja politik atau kerja profesional. Boediono mencapainya melalui cara yang kedua.

Di Indonesia, baru Bung Hatta yang bisa melakukan dua pekerjaan itu, untuk mencapai posisi Wakil Presiden. Bung Hatta memilik basis politik di partai dan profesional dalam kapasitasnya sebagai ekonom.

Kerja politik, jelas berbeda dengan kerja profesional. Profilnya, targetnya, prioritasnya, cara menyelesaikan masalahnya: semua berbeda.

Seorang politisi, terkadang tidak harus ahli untuk duduk dalam sebuah jabatan politik. Karena itu, ketika ada orang non-politik menduduki jabatan politik, dalam bahasa aktivis politik, mereka disebut sebagai Politisi Tak Berkeringat.

Politisi membutuhkan konstituen. Semakin banyak pemilih, semakin kuat posisinya. Karena itu, kerja-kerja politik adalah kerja-kerja mengumpulkan keinginan dan ideologi banyak orang. Kerja-kerja politik adalah kerja-kerja menemui banyak orang dan menyusun sebanyak-banyaknya daftar janji.

Berbeda dengan profesional. Mereka, tentu saja, tidak harus berkeliling atau melakukan kerja-kerja persuasif massal untuk mendapatkan dukungan.

Seperangkat teori dan kapasitas intelektual, bisa membuat orang non-partai menduduki jabatan politik.

Nah, pada masa Bung Hatta, sempat diperkenalkan istilah Zaken Kabinet. Yaitu, diisinya kabinet oleh orang-orang ahli atau profesional. Termasuk Wakil Presiden, yang saat itu dijabat oleh Bung Hatta sendiri.

Sepanjang Orde Baru, posisi Wakil Presiden juga menjadi representasi kekuatan politik. Mulai dari Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Sudharmono, Oemar Wirahadi Kusumah, dan BJ Habibie, semua terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan politik.

Try Sutrisno, memang bukan dari partai. Tapi, saat pengangkatannya sebagai Wapres mendampingi Soeharto, sedang menguat isu pilar kekuatan Orde Baru. Yaitu, munculnya kekuatan jalur ABG: ABRI, Birokrasi dan Golkar. Try adalah representasi dari kekuatan ABRI, setelah Soeharto resmi menjadi Ketua Dewan Penasehat Golkar.

Nah, pilihan SBY kepada Boediono untuk menjadi Wakil Presiden, tadinya meyakinkan para pengamat politik bahwa Indonesia akan mengadopsi lagi pola Zaken Kabinet dalam menyokong kepemimpinan nasional. Sehingga, kerja-kerja politik tidak harus dilakukan oleh Boediono.

Karena itu, serangan politik saat Boediono menjadi Wakil Presiden, banyak diarahkan pada soal-soal ideologis.

Yaitu: di-petakannya Boediono ke dalam alur ideologi Neo-Liberalisme.

Yang menarik, sebagai political clearence, saat itu dimunculkan profil kehidupan Boediono yang tidak neko-neko. Juga, gaya hidup Boediono yang tidak bergelimang simbol-simbol kemewahan.

Padahal, Neo-Liberalisme tidak synonim dengan gaya hidup. Neo-Liberalisme tidak simetris dengan borjuasi atau hedonisme. Neo-Liberalisme adalah cara pandang dan cara mengeksekusi sebuah kepentingan nasional. Kepentingan rakyat banyak: dari bawah sampai atas.

Neo-Liberalisme berpihak pada siapa?

Nah, dalam posisinya sebagai Wakil Presiden sekarang ini, Boediono adalah representasi dari kebijakan politik kekuasaan yang sedang memerintah: apakah seorang profesional menjadi efektif dalam penyelesaian konflik politik, atau sebaliknya, seorang profesional telah gagal melihat masalah tehnis yang berisiko politik?

Jadi, mundurnya Boediono dari jabatan Wakil Presiden (kalau memang terjadi), tidak bisa dilihat sebagai langkah profesional lagi. Tapi, sebagai penyelesaian atas konflik politik yang (memang) harus dilakukan.

Sebab, Hak Angket adalah agenda politik. Begitu juga Kasus Bank Century; telah menjadi amunisi baru perpolitikan Indonesia.

Kalau Boediono tetap (dipaksa) bertahan dalam posisinya sebagai Wakil Presiden, prediksi yang paling rasional adalah akan terjadinya eskalasi politik yang memanas. Risikonya, pemerintahan akan berjalan lambat lagi.

Catatan riwayat hidup Boediono, nyaris menunjukkan tidak adanya investasi politik di partai manapun. Termasuk Partai Demokrat. Baju biru dan simbol bintang yang dipakai Boediono, baru dikenakan saat kampanye pemilihan presiden dan capres 2009.

Berbeda dengan Bung Hatta, yang sudah membangun Perhimpunan Indonesia Raya saat masih kuliah di Belanda.

0 ulasan:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP