Selasa, Juli 21, 2009

SBY Diminta Tunjukkan Bukti Empirik Jadi Target Pembunuhan



Selasa, 21/07/2009 10:27 WIB
Laurencius Simanjuntak - detikNews
SBY Jenguk Korban Bom di RS MMC
Jakarta - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku fotonya dijadikan sasaran tembak latihan para teroris menuai kontroversi. Agar tidak meresahkan, SBY harus memberikan penjelasan dan bukti empirik menjadi target pembunuhan.

"Tunjukkan kepada publik bagaimana proses penangkapannya (pelakunya), kapan ditahan dan kapan proses hukumnya. Dan tujukkan bahwa ada bukti yang memperkuat lainnya," ujar pengamat intelijen dari Universitas Indonesia (UI) Andi Widjajanto saat berbincang dengan detikcom, Selasa (21/7/2009).

Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD), Jumat (17/7/2009) menyatakan tersangka kasus penembakan foto-foto SBY sudah ditangkap. SBY sendiri memastikan kasus yang diungkapnya merupakan fakta yang ada dan dilengkapi bukti rekaman video dan fotonya.

Selain soal menjadi target pembunuhan, keterangan pers SBY soal bom JW Marriott dan Ritz Carlton dinilai mencampuradukkan ancaman teror dan ancaman politik. Untuk itu, presiden diminta mengklarifikasi lebih lanjut soal variasi ancaman yang disampaikan.

"SBY harus klarifikasi lebih lanjut dan memaparkan dua jenis ancaman yang terpisah, yaitu ancaman teror dan ancaman politik. Karena hal itu dua hal yang terpisah," kata Andi.

Soal pernyataan akan ada pendudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan rencana revolusi oleh kelompok tertentu, SBY pun diminta secara gamblang menunjukkan bukti-bukti yang ia dapat. Ini diperlukan agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

Seperti diketahui, hasil penyelidikan kepolisian selama 3 hari ini menunjukkan pelaku pengeboman mengarah pada kelompok tertentu yang tidak terkait dengan hal-hal politik. Polisi pun diminta tidak terpengaruh dengan 'bunyi-bunyian' di luar dalam melakukan penyelidikannya.

"Kepolisian tetap fokus dalam mengembangkan tentang terorisme ini," pungkasnya.(lrn/iy)

Read more...

Senin, Juli 20, 2009

Pendaratan di Bulan, Kebohongan AS?



20/07/2009 - 15:59
INILAH.COM, Jakarta – Hari ini 40 tahun yang lalu, Amerika Serikat menyiarkan sebuah pengumuman kontroversial, yakni pendaratan pesawat ulang-alik Apollo 11 di bulan. Benarkah Neil Armstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins pahlawan pencetak tonggak sejarah, atau sebaliknya, bagian dari sebuah kebohongan terbesar?

AS mewarnai sejarah dunia dalam teknologi luar angkasa pada 20 Juli 1969 dengan klaim sukses mendaratkan tiga astronot mereka di bulan. Hari ini di negara yang dipimpin Presiden Barack Obama itu, berbagai planetarium dan pusat penelitian merayakannya dengan memutar film pendaratan yang memuat kalimat historikal Armstrong: One small step for man, one giant leap for all mankind.

“Dalam jangka panjang, kita melihatnya sebagai event terpenting pada abad ke-20. Makin jauh ke depan, pencapaian itu makin terasa penting. Seluruh dunia dipersatukan oleh peristiwa itu, sebuah kejadian yang magis,” tutur astronom Harvard Smithsonian Center for Astrophysics, Jonathan McDowell, di Cambridge, Senin (20/7).

Kebesaran peristiwa itu disebabkan belum ada pencapaian serupa dari belahan bumi mana pun. Termasuk Rusia, atau Uni Sovyet pada jaman itu, yang pertama kali dikenal dengan ambisi luar angkasa mereka. Belasan tahun sebelum Apollo 11, Moskow sudah terlebih dahulu bekerja keras di bengkel luar angkasa mereka dan akhirnya sukses mengorbitkan satelit Sputnik pada 1957.

Catatan itu semakin panjang dengan pengiriman Yuri Gagarin, manusia pertama yang ke luar angkasa pada 1961. Kemudian perempuan pertama yang ke luar angkasa, Valentina Tereshkova pada 1963. Berlanjut Alexei Leonov yang menjadi manusia pertama yang beraktivitas di luar kapal luar angkasa, pada 1965.

Percobaan ke bulan juga pernah dilakukan Rusia dengan kapal Luna 2 yang tak berawak pada 1959, namun mereka gagal. Perjuangan panjang dan susah payah menorehkan sejarah itu langsung dipatahkan AS dengan klaim pendaratan bulan mereka.

“Dimulai dengan penerbangan pertama dengan kapsul primitif, tiba-tiba sukses mendarat di bulan. Memang, itu sebuah pencapaian yang besar untuk umat manusia. Ingin rasanya mengetahui bangsa kami yang pertama di bulan, tapi itulah hidup. Padahal pencapaian kami begitu banyak,” ujar astronot Rusia, Sergei Krikalev.

Dengan pencapaian yang luar biasa besar sekalipun, Rusia masih gagal mendaratkan kru mereka di bulan. Pesawat Salyut 1 pada 1971 gagal di atmosfer dan menewaskan tiga orang asronot. Beruntung ada Mir, sebuah stasiun luar angkasa yang bisa dihuni untuk jangka panjang. Sayangnya, jaman keemasan Mir berlalu secepat mulainya karena Rusia mulai kehabisan dana.

Sejak itulah, Rusia mengatakan AS telah menebarkan kebohongan terbesar kepada dunia mengenai pendaratan di bulan. Stasiun televisi Rusia, Rossiya, memutarkan sebuah tayangan yang mempertanyakan kontroversial pendaratan bulan. Lebih tepatnya, ketidakpercayaan bangsa Rusia dengan peristiwa itu.

"Kepercayaan pendaratan di bulan itu tersebar di AS sendiri, bahwa astronot mereka menginjakkan kaki di bulan. Sebenarnya, ini sangat aneh bagi orang-orang di belahan bumi lainnya," demikian laporan yang disampaikan stasiun televisi Rusia Rossiya, hari ini.

Laporan itu terkait dengan video pendaratan Apollo 11 yang dirilis Badan Antariksa AS (NASA) dalam rangka 40 tahun pendaratan bulan. Dengan kata lain, Neil Armstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins tidak mendarat di bulan.

Keraguan itu berulangkali disampaikan oleh Rusia, mengatakan kehebohan AS itu hanya untuk menyaingi sukses Sputnik mereka. Hingga saat ini, para ahli dunia masih berdebat mengenai orisinalitas rekaman yang merupakan satu-satunya bukti itu.

Meski demikian, bangsa besar seperti Amerika merupakan bangsa yang menghargai sejarahnya. Berbagai media besar negara tersebut ramai memberitakan 40 tahun sukses pendaratan di bulan. Armstrong, Aldrin, dan Collins, tetap dianggap pahlawan nasional. Apalagi, ketiganya kini dipanggil kembali oleh NASA untuk ambisi selanjutnya: pendaratan di Mars. Sukseskah? [P1]

Read more...

Gubernur DKI: Tidak Ada Eksodus!

Senin, 20/07/2009
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Gubernur DKI Fauzi Bowo memastikan ledakan bom di dua hotel mewah, JW Marriott dan Ritz Carlton tidak mengakibatkan eksodus dari Jakarta. Suasana Jakarta tetap normal.

"Di ibukota suasana berjalan sebagaimana biasanya," kata Foke, begitu dia biasa dipanggil di Jakarta Crisis Media Center, Cafe Ginger Republic Bellagio, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2009).

Foke memaparkan, pada Sabtu dan Minggu, jumlah penerbangan ke tanah air mencapai 2.679. Sedangkan yang berangkat dari tanah air sebanyak 2.604 penerbangan. "Tidak ada tanda kenaikan drastis apalagi eksodus," tegasnya.

Beberapa rumah sakit juga sudah mulai melayani kepentingan publik. Sedangkan tempat keramaian tidak mengalami penurunan.

Sementara itu, terkait banyaknya foto dan video yang beredar soal ledakan, Foke meminta agar penayangannya diredam. Sebagai institusi resmi, menurut Foke, Polri belum mengeluarkan rilis.

"Saya harap semua pihak menunggu rilis dari Polri sebelum menayangkan gambar-gambar seperti itu," pungkasnya.(mok/asy)

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP